Jakarta (28/10) Menjelang suksesi dalam kepemimpinan nasional pada Pilpres 2019, mengingat kembali Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi sangat penting. Bangsa ini telah terpolarisasi akibat politik identitas, yang mengancam persatuan bangsa.
“Siapapun atau bagaimanapun pemimpin Indonesia, bisa semua elit politik berjalan sendiri=sendiri, mementingkan kelompok dan golongannya, Indonesia tak akan maju. Bangsa Indonesia harus mengenang kembali tekad para intelektual muda era pergerakan nasional, mereka menginginkan Indonesia yang bersatu,” ujar Ketua DPP LDII, Iskandar Siregar.
Terutama, menurut Iskandar, para generasi muda sebagai penerus perjuangan mewujudkan cita-cita bangsa, harus memahami benar makna dan pesan Sumpah Pemuda 1928. “Setidaknya pemuda memiliki tiga peran utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Pertama, sebagai generasi penerus yang konsisten melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya.” Ujar Iskandar.
Kedua, sebagai generasi pengganti untuk menggantikan para generasi tua yang belum mampu mengemban amanat. Ketiga, sebagai generasi pembaharu yang bersungguh-sungguh berjuang mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa. Ada kesadaran moral dengan komitmen kebangsaan untuk menjungjung tinggi keyakinan, nilai, norma, simbol, rasa cinta tanah air, yang mempertautkan kebhinekaan dalam jiwa kesatuan dan persatuan.
Generasi muda jangan terjebak dalam dinamika Pilpres 2019, yang cenderung membahayakan bangsa. Namun mengambil sikap kritis dalam semangat Sumpah Pemuda 1928. Persoalannya, Iskandar menduga generasi muda tak banyak yang peduli dengan cita-cita pendiri bangsa ini, kurang memahami perjuangan generasi pendahulunya.
Iskandar melihat para pemuda sebagian besar tenggelam dalam pola hidup hedonisme, larut dalam budaya konsumtif, asyik dengan dunianya sendiri, cenderung bermental jalan pintas, dan koruptif. Bahkan lebih mengutamakan kepetingan pribadi dibandingkan kepentingan bersama atau kemashalatan umum. Mereka kurang peduli atau peka terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitarnya.
“Hal tersebut membuat pudarnya nasionalisme yang telah di bangun generasi tua sebelumnya. Dan pemuda Indonesia dewasa ini sepertinya telah banyak kehilangan jati dirinya, terutama dalam hal wawasan kebangsaan dan patriotisme (cinta tanah air) Indonesia,” papar Iskandar.
Lantas apa solusinya? Perlu re-thinking (pemikiran kembali) dan re-inventing (penemuan kembali) dalam nation character building (pembangunan karakter bangsa) bagi pemuda yang berwawasan kebangsaan dan patriotisme untuk menemukan kembali jati diri bangsa. Pada tahun 1928 pemuda Indonesia mengguncang dunia dengan manifesto heroik dengan mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Pemuda Indonesia menjadi pionir dalam proses bangkitnya bangsa Indonesia untuk melakukan perlawanan sistematis terhadap imperalisme (penjajahan) – yang diikuti bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika.
Pengarang kawakan T.S. Elliot (1888-1965), pemenang Hadiah Nobel Kesusasteraan 1948, mengatakan: “We shall not cease from exploration, and the end of all our exploring will be to arrive where we started and know the place for the first time.” Terjemahan bebasnya kurang lebih: “Kita tidak akan berhenti bereksplorasi, dan akhir dari semuanya ialah, kita tiba di tempat dari mana kita telah berangkat, dan mengenalinya untuk pertama kali.”
Kini dengan revolusi teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi, dunia kian menjadi satu di era globalisasi. Di era ini mengalir arus barang, jasa, informasi dan gaya hidup, yang melintas batas-batas nasional secara cepat dan intensif. Unsur-unsur global berjumpa dengan unsur-unsur lokal. Terjadilah proses glokalisasi. Kita dapat aktif berpikir global dan bertindak lokal, serta berpikir lokal dan bertindak global.
Sikap ini hanya bisa terwujud bila: Pertama, orang harus tahu diri, kenal diri, dan kendali diri ketika berjumpa dengan orang lain di dalam masyarakat yang kian majemuk. Kedua, orang harus mau dan mampu membuka diri ketika berinteraksi dengan orang lain. Interaksi dengan orang lain bukanlah antara subyek dan obyek, melainkan antara subyek dan subyek yang bermartabat.
Dalam interaksi ini sangatlah bertuah petuah dari Mahatma Gandhi yang mengatakan: “Saya tidak mau rumahku dikelilingi tembok di semua arah dan jendelaku terkunci rapat. Saya mau kebudayaan semua negeri berembus sebebas mungkin ke arah rumahku. Tetapi saya menolak diriku dihempaskan dari tempat kakiku berpijak oleh apapun yang berembus dari luar.”
Kata Abraham Lincoln, Presiden Amerika Seikat ke-16 (1860) : “Tempatkan kakimu di tempat yang tepat, lalu berpijak teguh di situ.” Dengan kata lain berkelanalah ke mana-mana, tetapi kembalilah kepada jati diri bangsa bukan sebaliknya kita kehilangan orientasi atau malah menjadi faktor yang mendorong disrupsi kebangsaan.
Nah modal bangsa berupa Sumpah Pemuda 1928 ini harus dikelola dan menjadi semangat perubahan. Agar Indonesia menjadi bangsa yang terdepan di segala bidang.*/ldii.or.id